Minggu, 25 September 2016

One Day In London (Cerita Bersambung)


Penulis : Erikca Gardena F // Alfira Andra H
Genre : Historical Fiction
©2015
 
CHAPTER I : Me, Myself and I

1 September 1939
Namaku Jennifer Brown, umurku 17 tahun. Kau mungkin bisa memanggilku Jen atau Jenny. Ini adalah cerita yang awalnya kutulis hanya di jurnalku. Lalu kemudian aku menggunakan mesin tik yang dibawa ayahku dari kantor barunya di Bletchley Park untuk membuat sebuah buku yang kusimpan dan ingin kubagi dengan orang-orang sesudahku. Terutama bagi mereka yang mencintai kedamaian sepertiku.
Hari ini tanggal 1 September 1939. Hidupku masih seperti ini saja. Kadang aku membantu ibuku mengurus rumah, atau berjualan roti di wilayah Buckinghamshire. Ayahku baru saja pindah ke Bletchley hari ini. Entah mengapa ia tiba-tiba melepaskan kemiliterannya dan bekerja di pabrik radio. Ayahku bilang, usianya sudah terlalu tua untuk berada di perbatasan Inggris, jadi ia menyuruh kakakku, Joel untuk menggantikannya. Menurutku ayah belum terlalu tua. Ayah masih berusia 40 tahun. Lebih muda dari perkiraan orang. Ayahku memang suka menggunakan topi detektif seperti milik Sherlock Holmes. Mungkin itu yang membuatnya terlihat berusia 10 tahun lebih tua.
Ayah pulang dari Bletchley pukul 10 malam. Membawa koran hari ini yang katanya begitu menggemparkan.
“Selamat malam semuanya”
“Selamat malam Ayah”
“Selamat malam Arthur. Ada berita apa? Kenapa kau sangat lesu hari ini?”. Ibuku menghampiri ayahku dan membantunya melepas jubahnya yang sedikit basah karena gerimis yang melanda Buckinghamshire malam ini. Ayah melemparkan koran ke atas sofa dan menuju kamarnya. Terlihat jelas dari tempatku duduk, halaman depan koran itu bertuliskan ‘JERMAN MENYERANG POLANDIA, PERANG DUNIA II AKAN SEGERA DIMULAI’. Tubuhku terasa merinding seketika mendengar kata perang dunia, aku tidak pernah bisa membayangkan hilangnya kedamaian di kota ini, apalagi dunia ini. Jerman telah kembali. Jerman telah kembali. Begitulah yang ada dipikiranku saat mendengar Jerman telah kembali memulai segalanya.
“Arthur apa yang akan kita lakukan?”. Ibuku menghampiri ayahku ke kamar dan sedikit berdebat tentang apa yang harus kami lakukan untuk bersiap-siap menghadapi serangan Jerman yang mungkin akan sampai ke perbatasan Inggris.
“Kita hanya akan diam menunggu perintah Annie”
“Perintah siapa yang kau maksud Arthur?”
“Tentu saja Churchil. Aku tahu sebentar lagi, Churchil akan memberitahu apa yang harus kita lakukan”.
“Baiklah. Kita tunggu saja”
Aku beranjak pergi ke kamarku dan memikirkan apa yang mungkin terjadi. Yang kutahu, perang selalu berakhir dengan banyaknya korban kejahatan terhadap kemanusiaan. Seolah tanpa memiliki moral, manusia-manusia menghabisi sesamanya, demi mendapatkan wilayah jajahan, demi mendapatkan banyak harta rampasan dari tanah jajahan. Seperti saat perang dunia I, ayahku bercerita bagaimana perang menghancurkan sebagian dunia. Dimulai dari pertikaian kecil antar negara, persaingan senjata, mencari persekutuan dan berperang melawan persekutuan lainnya demi mendapatkan status negara terkuat atau negara adidaya. Dan sekarang, aku berada di dalam perang yang selama ini ditakutkan terjadi lagi.
            Belum ada tanda-tanda akan terjadi serangan di London. Aku mencoba memejamkan mata, melupakan sejenak apa yang barusaja kulihat dan kudengar. Berharap esoknya akan baik-baik saja dan tentunya perang itu tidak akan pernah terjadi. Sekali lagi aku mendengar ayahku keluar rumah dan mengendarai sepedanya. Tidak biasanya ayah melakukan hal ini selepas pulang kerja. Tapi kupikir ayah perlu rehat dan bercengkrama dengan beberapa temannya di bar yang tidak jauh dari Bletchley, jadi kuputuskan untuk melanjutkan tidurku.
            Sedetik kemudian aku bermimpi. Aku melihat kawan lamaku, Aaron Underwood yang tiba-tiba datang kerumahku dan mengajakku berlari. Aku melihat segerombolan tentara Jerman yang menggunakan seragam coklat bertanda swastika hitam dengan lingkaran putih dan bendera merah yang diikat di lengannya. Mereka tidak memperhatikan kami yang berlari menjauh dari rumahku.
“Kemana kita akan pergi Aaron?”. Aku masih berlari mengikuti Aaron yang menuju Stasiun bawah tanah Bletchley. “Ikuti aku saja Jen”. Katanya.
“Tapi aku tak bisa menginggalkan ibuku dan ayahku”
“Mereka tak ada disana! Ikuti saja aku!”
            Aaron membawaku ke stasiun bawah tanah Bletchley. Sebagian besar warga Buckinghamshire ada disini. Mereka terlihat sangat ketakutan, sangat menderita dan kelaparan. Aaron kembali menarikku dan mengajakku berlari melewati orang-orang yang melihat kami dan kembali naik ke permukaan.
            “Aaron tunggu! Berhentilah. Kemana sebenarnya kau akan mengajakku? Ada apa ini?”. Aaron terpaku melihatku tanpa berkata apapun kemudian ia menunjuk ayah dan ibuku, dan Joel yang berada di tangan tentara Jerman. Kami berada di London. “Maafkan aku Jen”. Aaron tergeletak di depanku. Terlihat jelas punggungnya yang berdarah akibat sebuah tembakan jarak jauh.
            Aku terbangun tepat pukul 7 pagi saat kusadari semua tidak ada yang berubah. Perang tidak terjadi.  Itu semua hanya mimpi. Dan tentu aku yakin Aaron juga tidak tewas terbunuh.
            “Jen?”. Ibuku mengetuk pintu kamarku seperti biasanya. “iya Bu, aku keluar”. Kataku sambil merapikan tempat tidur dan beranjak keluar menemui ibuku yang masih berdiri didepan pintu dan tersenyum sumringah.
“Ada apa Bu? Kenapa kau tersenyum  seperti itu? Ada yang salah denganku?”
“Tidak. Seseorang mencarimu. Tebak siapa...?”
“Tak mungkin. Aaron?”. Aku berlari menuju kebawah dan melihat Aaron yang duduk di sofa sambil melihat keluar jendela. “Aaron!!”. Aku berlari memeluknya. Melepaskan rindu yang selama ini terbendung. Aaron adalah sahabatku sejak kecil, dia pindah ke London beberapa tahun lalu. Tepatnya saat kami berusia 13 tahun. Sebuah pukulan besar bagiku karena tentu aku tidak punya teman selain Aaron. Ia bercerita tentang hidupnya di London yang teramat membosankan.
“Kau tahu? Aku tidak punya teman disana”. Kami tertawa. Tentu saja, aku juga tidak memiliki teman seperti Aaron disini semenjak ia ke London. “Aku juga tidak punya teman Aaron. Semanjak kau tiba-tiba pergi begitu saja meninggalkanku. Haha. Lalu untuk apa kau kembali?”.
“Kau tidak dengar soal perang itu? Orang tuaku pikir, Buckinghamshire adalah tempat teraman untuk menghindari ancaman perang. Aku tahu sebenarnya mereka juga takut menghadapinya. Aku juga tidak bodoh. Tidak ada tempat teraman untuk menghindari sebuah perang. Kenapa ke Buckinghamshire? Tentu saja aku lebih nyaman disini karena aku punya teman.”.
Aku kembali terpikirkan soal mimpi yang kualami malam tadi. Orang-orang yang menghindar dari perang bersembunyi di rel kereta api bawah tanah. Tapi tidak akan mungkin selama perang mereka akan terus bersembunyi disana. Mereka pasti akan mati kelaparan. Dan tentu saja kematian sia-sia yang akan terjadi.
“Hey, ngomong-ngomong aku ingin bercerita sesuatu”. Aaron menatapku penasaran menaikkan alisnya yang tebal dan tersenyum simpul. “Apa ini tentang cinta? Akhirnya kau jatuh cinta dengan seseorang? Haha”. Aaron tertawa melihatku yang terdiam. Mungkin ia berpikir ini semua tentang itu. Tidak ini semua tentang bagaimana pandanganku tentang perang. Dan tentu aku akan menceritakan mimpiku tadi malam yang sangat aneh dan menyeramkan.
“Ini tentang perang yang akan segera terjadi Aaron, dan juga mimpiku tadi malam”. Aaron seketika terdiam dan menatapku sedikit takut. “Apa?”
“Kau tahu pasti bagaimana dampak yang akan ditimbulkan dari perang bukan? Aku khawatir tentang sesuatu. Tentang keluargaku. Tentangmu. Tentang semua orang di dunia ini yang akan mengalami penderitaan sangat besar. Entah bagaimanapun caranya Aaron berjanjilah padaku tentang satu hal. Jaga dirimu baik-baik”
“Tunggu Jen, ada apa sebenarnya?”
“Aku bermimpi tentangmu”. Awalnya kukira Aaron akan bereaksi serius. Tapi kemudian Aaron tertawa kecil melihatku yang hampir saja menangis karena takut hal itu benar-benar akan terjadi. “Hahaha. Kau tidak berpikir aku akan ikut berperang melawan Jerman? Jen, itu hanya mimpimu. Jangan terlalu dipikirkan”
“Aaron berjanji sajalah. Aku hampir terkena serangan jantung karena mimpi gila itu. Aku melihatmu membawaku pergi tapi kemudian kau tergeletak bersimbah darah didepanku. Kau pikir itu lucu? Tentu tidak.”
“Baiklah, begini. Aku akan menuruti semua perkataanmu. Tentang menjaga diriku. Tapi aku juga ingin kau melakukan hal yang sama”. Aku menatap Aaron yang berubah menjadi sedikit serius menanggapi kisahku. “Aku berjanji”
Dan kemudian, semuanya berubah menjadi menyeramkan....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar